A.
Konsep pendidikan humanis.
Humanism merupakan perkembangan ide-ide progresif, para humanis mengadopsi
sebagian besar prinsi-prinsip progresif (child centered, guru non otoratif,
siswa aktif dan guru kooperatif dan demokratis), namun progresivisme bukanlah
satu-satunya sumber humanism, eksistensialisme juga berperan sebagai stimulus
lahirnya pendidikan humanism hal itu terlihat dari prinsip pendidikan humanism
yang menekankan pada keunikan masing-masing anak.
Humanism merupakan filsafat hidup yang pada intinya adalah memanusiakan manusia, yaitu yang mempunyai kometment untuk mewujudkan manusia sseutuhnya, meliputi semua aspek perkembangan positif pribadi seperti cinta, kretifitas, makna dan sebagainya. Setiap individu mempunyai kemampuan dan tanggungjawab atas kehidupannya yang mengarah kepada kepentingan kemanusian.
Menurut Antonio. 2003, pendidikan humanistic memiliki nilai yang senada dengan pendidikan demokratis, lebih lanju menurutnya pendidikan yang manusiawi ini perlu dilakukan kepada siswa agar tumbuh sense of moral judgment dan tanggung jawab sosialnya menjadi lebih besar. Menurut Huitt. 2003, pendidikan humanistic menekankan yang utama pada kebutuhan dan minat manusia. Pendidikan humanistic juga menekankan kajian pada manusia scara keseluruhan sebagai individu yang berkembang di sepanjang hidupnya. Dengan kata lain, pendidikan humanistic tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
Humanism merupakan filsafat hidup yang pada intinya adalah memanusiakan manusia, yaitu yang mempunyai kometment untuk mewujudkan manusia sseutuhnya, meliputi semua aspek perkembangan positif pribadi seperti cinta, kretifitas, makna dan sebagainya. Setiap individu mempunyai kemampuan dan tanggungjawab atas kehidupannya yang mengarah kepada kepentingan kemanusian.
Menurut Antonio. 2003, pendidikan humanistic memiliki nilai yang senada dengan pendidikan demokratis, lebih lanju menurutnya pendidikan yang manusiawi ini perlu dilakukan kepada siswa agar tumbuh sense of moral judgment dan tanggung jawab sosialnya menjadi lebih besar. Menurut Huitt. 2003, pendidikan humanistic menekankan yang utama pada kebutuhan dan minat manusia. Pendidikan humanistic juga menekankan kajian pada manusia scara keseluruhan sebagai individu yang berkembang di sepanjang hidupnya. Dengan kata lain, pendidikan humanistic tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
B. Prinsip Pendidikan Humanis
Pendidikan humanis menginginkan untuk menciptakan lingkungan pembelajaran
dimana anak akan bebas dari peersaingan yang sengit, disiplin yang keras,
ketakutan terhadap kegagalan, humanism berusaha menjahui hubungan yang merugikan
antara siswa dan guru, dan igin menciptakan hubungan pendidikan yang penuh
dengan kepercayaan dan rasa anam. Keyakinan demikian akan membebaskan siswa
dari ketakutan yang merusak dan menghabiskan energy, dan mencurahkan
perhatiannya pada pertumbuhan individu dan perkembangan kreatifitas.
Singkatnya, pendidikan humanis berusaha bergerak diluar mentalitas penjara
disebagian besar seekolah dalam usaha memberikan lingkungan pembelajaran yang
akan menghasilkan pertumbuhan individu. Dngan demikian tujuan fundamental
pendidikan humanis yaitu berpusat pada aktualisasi diri, bukan pada penguasaan
pengetahuan sebagai tujuan. Para pakar pendidikan humanis berpendapat bahwa
agar guru dapat dengan mudah mencapai tujuannya dengan cara bekerja sama dengan
individu dan kelompok kecil yang berakar pada eksistensialnya. Pendidikan
humanis berusaha menghindari kelompok masyarakat modern.
C. Kelebihan dan Kekurang Pendidikan Humanis.
1. Kelebihan pendidikan humanism.
a. Humaanisme memberikan banyak perhatian kepada keunikan siswa.
b. Suasana pembelajaran lebih kooperatif dan demokratis.
c. Berusaha menciptakan hubungan pendidikan antara guru dan siswa dengan
kepercayaan, memberikan pertumbuhan individu untuk mengembangkan kreatifitasnya
dalam mengaktualisasikan diri, dan menjahui hubungan yang merugikan seperti
disiplin yang keras, ketakutan akan kegagalan serta lingkungan yang mengamcam.
2. Kekurangan pendidikan humanism.
a. Humanisme terlalu memfokuskan diri pada siswa sehingga lingkungan social
terabaikan.
b. Pendidik sangat pasif sehingga dalam praktek pembelajaran sehingga
kreatifitas dan novasi guru mati.
c. Siswa terlalu diberikan kebebasan dalam berkretifitas sehingga akan muncul
dalam diri siswa sikap egois dan tidak disiplin.
D. Pendidikan dan Persekolahan
Dalam masyarakat tradisional, pendidikan terjadi dan berjalan secara informal
dan tersirat dalam kebiasaan-kebiasaan sehari-hari, pendidikan terjadi bias
dilingkungan masyarakat secara umum, lingkungan keluarga maupun komunitas
lainnya.
Seiring dengan perkembangan zaman, dari zaman tradisional ke zaman modern, maka
pendidikan dalam masyarakat modern telah berdiferensiasi, tugas-tugas
masyarakat yang sebelumnya ditata tanpa aturan dan dilaksanakan secara adat,
maka dalam masyarakat modern, tugas-tugas masyarakat sudah ditata dengan aturan
dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga tertentu. Pendidikan informal secara adat
diganti dengan pendidikan formal yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga sekolah
formal. Dari sini lahirlah lembaga pendidikan formal dengan sistemnya yang
tertentu, yang lebih kita kenal dengan persekolahan.
Pendidikan humanis menitikberatkan tujuan pendidikan pada pengembangan manusia
otentik yang memiliki kemampuan untuk menghadapi kerumitan dan masalah hidup
modern. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan humanistik harus bersifat
manusiawi, dengan memperhatikan aspek kebutuhan dan minat peserta didik.
Tema-tema utama pendidikan menurut pandangan humanistik adalah pendidikan yang
berpusat pada subjek didik, proses belajar aktif dan mandiri, serta fungsi guru
sebagai fasilitator.
Pendidikan humanistik atau pendidikan yang manusiawi memposisikan peserta
didik/siswa sebagai manusia, mereka memiliki hak dan kewajiban sebagai manusia,
mereka mempunyai hak untuk di hormati dan dihargai. Pendidikan humanis menekankan
pada kebutuhan serta minat dari manusia itu sendiri, dengan kata lain
pendidikan humanis tidak akan memaksakan kehendak orang lain kepada anak.
Melihat realitas system pendidikan yang terjadi di sekolah-sekolah selama ini,
sama sekali tidak memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan
kreativitas dan kemampuan berpikir kritis-analitis mereka. Peserta didik masih
saja menjadi objek. Mereka diposisikan sebagai orang yang tertindas, orang yang
tidak tahu apa-apa, orang yang harus dikasihani, oleh karenanya harus dijejali
dan disuapi bahkan dilakukan indoktrinasi-indoktrinasi.
Menciptakan konsep pendidikan yang disebut dehumanisasi di negara kita tidaklah
mudah membalikkan telapak tangan, karna sistem pendidika kits yang to pernah
konsisten dan cenderung berubah ubah.
Uraian ini, menggugah kita semua untuk turut serta ambil bagian mengatasi
kondisi krisis sosiologi dunia pendidikan kontemporer. Sebagai praktisi
pendidikan di Indonesia, Pendidikan Humanistik (Konsep, Teori dan Aplikasi
Praksis dalam Dunia Pendidikan), layak kita jadikan rujukan awal mengatasi
problem-problem di atas. Setidaknya teori pendidikan humanisme ini memberikan
solusi yang tepat untuk kembali memanusiakan manusia dalam proses pendidikan
dan juga berbagai perangkat pendidikan lainnya. Dimana, segala konsep, teori
dan aplikasi praksisnya dijelaskan secara sistematis dan komprehensif.
Dengan metode teori humanisme yang diterapkan diharapkan mampu mengantarkan
anak didik menjadi sebuah generasi yang dapat diandalkan sekaligus
membanggakan. Uraian ini kiranya memberikan angin segar yang patut kita telaah
bersama di tengah-tengah sahara pendidikan negeri ini yang gersang dan tandus.
Perbaikan dan pembenahan pada dunia pendidikan memang adalah suatu hal yang
harus terus dan selalu mendesak untuk segera dilakukan. Apalagi mengingat
pendidikan adalah sebuah investasi yang sangat penting bagi masa depan bangsa
ini. Dimana, anak bangsa nantinya dituntut untuk siap sedia agar dapat
meneruskan gerak langkah ke depan. Menjadi sebuah bangsa yang maju dan
berpendidikan serta bermoral. Arah pendidikan saat inilah yang harus mampu
mencetak manusia-manusia (insan) pendidikan secara manusiawi dan juga
berintelektual tinggi. Sebuah mimpi kita sernua tentunya dan tidak sekedar kita
jadikan utopia kita belaka.
Oleh sebab itulah, model sistem pendidikan yang dibutuhkan adalah pendidikan
yang selalu mengedepankan akan hal-hal yang bernuansa demokratis,
partisipatif-dialogis dan humanis. Suasana pembelajaran yang paling menghargai,
adanya kebebasan berpendapat, kebebasan mengungkapkan gagasan, adanya
keterlibatan peserta didik dalam berbagai aktivitas di sekolah, dan lebih-lebih
adalah kemampuan hidup bersama (komunal -bermasyarakat) diantara peserta didik
yang tentunya mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Perbaikan dan pembenahan
pada dunia pendidikan memang adalah suatu hal yang harus terus dan selalu
mendesak untuk segera dilakukan. Apalagi mengingat pendidikan adalah sebuah
investasi yang sangat penting bagi masa depan bangsa ini. Dimana, anak bangsa
nantinya dituntut untuk siap sedia agar dapat meneruskan gerak langkah ke
depan. Menjadi sebuah bangsa yang maju dan berpendidikan serta bermoral. Arah
pendidikan saat inilah yang harus mampu mencetak manusia-manusia (insan)
pendidikan secara manusiawi dan juga berintelektual tinggi. Sebuah mimpi kita
semua tentunya dan tidak sekedar kita jadikan utopia kita belaka.
Menurut Djohar, 2003: 41, bentuk pembelengguan terciptanya pendidikan yang
manusiawi diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, ulangan umum bersama menyebabkan orientasi guru mengajar berfokus pada
ulanga umum bersama tersebut, guru kehilangan kemandirian dan kretifitasnya,
serta kehilangan cara pembelajaran yang ia pandang lebih baik, para guru akan
lebih memilih kebersamaan tersebut demi menjaga nama baik, walaupun ia
bertindak salah.
Kedua, ujian bersama juga senada dengan ulangan umum bersama, padahal
keuntungannya diperoleh oleh mereka yang terlibat dalam penggandaan soal serta
mereka yang terlibat dalam penyusunan soal, dengan resiko bilaterjadi kebocoran
akan timbul pemborosan besar-besaran, dengan cara ini akan berakibat pada
hilangnya makna pembelajaran bagi anak. Saat ini ujian bersama lebih kita kenal
dengan sebutan UAN yang baru-baru ini telah selesai kita laksanakan untuk tingkat
SLTP/SLTA.
Ketiga, standarisasi yang tanpa batas mengakibatkan kecenderungan terjadinya
penipuan dalam pendidikan. Bila ada standarisasi maka pencapaian standard
tersebut seharusnya tergantung pada keadaan sekolah atau keadaan daerah.
Kemerdekaaan ini sepenuhnya harus diberikan kepada daerah, apabila kita mau
konsekuen melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah.
Keempat, rangking kelas memiliki dampak yang negative , karena sekolah akan
dijadikan panggung pentas oleh orang tua. Akibatya pendidikan tidak manusiawi.
Terjadinya rangking kelas terkait dengan cara penilaian pendidikan kita.
Rangking kelas terjadi apabila cara penilaian pendidikannya menggunakan ukuran
kuantitatif.
Kelima, kesatuan kurikulum menjadikan guru mengejar target krikulum tersebut,
sehingga fleksibelitas pendidikan dikorbankan.
Pancasila sebagai asas Negara bias juga dijadikan asas dalam pelaksanaan
pendidikan di Indonesia, pancasila adalah ideology Negara yang humanis tetapi
dan sekaligus universal. Dikatakan humanis karena pancasila hanya bias
diaplikasikan kepada manusia sedangkan dikatakan universal karena pancasila
bias di aplikasikan pada semua manusia tanpa ada perbedaan ras, suku, warna
kulit, agama dll. Sehingga akan dihasilkan manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan yang maha Esa, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi, peka terhadap lingkungan sekita.
Dengan kata lain akan tercipta manusia Indonesia yang seutuhnya, manusia
Indonesia yang memiliki sikap wawasan keimana, dan ahlak tnggi dan mulia,
kemerdekaan dan demokrasi, toleransidan menjunjung tinggi HAM, saing pengertian
dan berwawasan global.
Implikasi Humanisme Dalam Pendidikan
Dalam konteks pendidikan, pendekatan humanisme dewasa
ini semakin banyak digagas oleh beberapa pakar sebagai pendidikan alternatif.
Maraknya praktik-praktik dehumanisasi dalam pendidikan menjadikan pendekatan
humanisme ini banyak diadopsi kedalam dunia pendidikan, baik secara paradigma
maupun aplikasinya. Pendidikan saat ini tidak lagi menganggap peserta didik
sebagai objek, akan tetapi sebaliknya. Pelaksanaan pendidikan sudah saatnyalah
memfokuskan pada optimalisasi potensi yang dimiliki peserta didik.
Guru dalam konteks pendidikan humanistik diposisikan
sebagai fasilitator bagi peserta didiknya. Peran guru dalam proses pembelajaran
bukan lagi sebagai orang yang tahu segalanya tanpa melihat keseragaman potensi
dan bakat yang sebenarnya dimiliki oleh peserta didik. Inilah yang menjadi ciri
dari pendidikan humanistik, memandang manusia dengan positif sebagai satu
kesatuan untuh yang punya potensi besar untuk dapat dikembangkan.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakup konsep
belajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan oleh Rogers (pakar teori
humanistik) yang diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai
kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung yaitu empati,
penghargaan, dan umpan balik positif. Dalam mengaplikasikan pendekatan
pembelajaran yang humanistik, dalam hal ini guru yang berperan sebagai
fasilitator mempunyai beberapa ciri-ciri sebagai berikut :
a. Merespon perasaan
siswa
b. Menggunakan ide-ide
siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
c. Berdialog dan
berdiskusi dengan siswa
d. Menghargai siswa
e. Kesesuaian antara perilaku
dan perbuatan
f.
Menyesuaikan isi kerangka berfikir siswa (penjelasan untuk menetapkan kebutuhan
segera dari siswa)
g. Tersenyum pada siswa
Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif
mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan angka konsep diri siswa,
meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan
matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan
dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa menjadi
lebih spontan dan menggunakan tingkat berfikir lebih tinggi.
Dalam perspektif humanisme, proses pembelajaran bukan
pada bagaimana ”mengajarkan”, akan tetapi lebih pada bagaimana ”menciptakan
situasi belajar” yang akan membuat peserta didik mengalami pengalaman belajar
itu sendiri. Dengan pendekatan seperti ini, akan memungkinkan bagi peserta
didik paham akan makna belajar, inilah sesungguhnya hakikat dari pendidikan
yang humanis.
Rogers, (1969), salah satu pakar psikologi humanistik
mengungkapkan tentang belajar dengan mengetahui terlebih dahulu maka dari
belajar itu sendiri, yang dikenal dengan belajar penuh arti yaitu, sikap murni,
apa adanya, penghargaan, penerimaan, kepercayaan, dan pemahaman dengan empati.
a. Sikap yang murni apa adanya
Proses belajar penuh arti dapat tercapai jika
fasilitator bersikap tulus, jujur, murni, dan bukan hanya bermain peran untuk
mengikuti tuntutan dari sistem. Seorang fasilitator boleh merasakan emosi dan
boleh mengekspresikannya, tapi bukan menjatuhkan kesalahan pada orang lain.
Misalnya, seorang guru yang terganggu dengan anak yang terus menerus
mengetukkan kakinya ke lantai. Guru tersebut boleh menyampaikan pada anak,
“Saya terganggu dengan bunyi itu…”, tetapi bukan, “Kamu mengganggu saya!”
Memang tidak mudah, namun seorang guru dapat memulainya dengan pertama-tama
mengenali emosi yang dirasakan dan menerimanya. Kemudian pelan-pelan ia dapat
mencoba untuk mengambil sedikit resiko untuk mengekspresikannya dengan tepat.
Seorang pakar manajemen kelas dari Amerika, Rick Smith,
menulis dalam bukunya yang berjudul Conscious Classroom Management:
Unlocking the Secrets of Great Teaching (2004) beberapa tips dalam
mengatasi kemarahan yang muncul dari diri kita sebagai guru/fasilitator. Coba
tarik nafas dan hitung sampai 10 sebelum memberikan respon. Selama menghitung
kita berasumsi yang terbaik dari murid kita, bahwa dia sebenarnya mau
mempelajari tingkah laku yang tepat, hanya saja dia belum sepenuhnya belajar.
Setelah itu baru kita merespon dengan nada suara yang tenang. Kita bisa
menyatakan apa yang kita rasakan dan membuat mereka mengerti apa yang
seharusnya mereka lakukan. Lalu bagaimana jika hitungan 10 saja tidak cukup?
Smith menyarankan sebaiknya tetap tutup mulut kita sampai merasa lebih tenang.
Lalu bagaimana kita menyampaikan isi hati kita kepada
murid? Dalam bukunya Quantum Teaching, Bobby De Porter,et.al menggunakan
istilah Open The Front Door (OTFD) untuk kita sebagai guru
mengkomunikasikan isi pikiran kita kepada murid. Berikut adalah tahapannya:
-
Observation (Nyatakan hasil observasi kita)
Pertama katakan apa yang terjadi dengan cara yang
obyektif, teramati, dan lugas, agar kedua pihak memulai pada titik yang sama.
Dengan pernyataan fakta, bukan penilaian atau kesimpulan, hanya data.
-
Thought (Nyatakan pemikiran kita)
Selanjutnya, nyatakan pikiran atau pendapat
menggunakan pernyataan ”saya”.
-
Feeling (Nyatakan perasaan kita)
Ceritakan perasaan kita, juga dalam bentuk ”saya”
-
Desire(Nyatakan apa yang kita inginkan)
Nyatakan tujuan, atau hasil yang kita inginkan.
Salah satu cara untuk bersikap ‘apa adanya’ adalah
dengan mengakui kesalahan yang kita lakukan. Bagaimana pun juga, guru adalah
manusia biasa yang tidak luput dari salah. Cara kita mengakui kesalahan bisa
menjadi proses pembelajaran tersendiri bagi murid-murid. Berikut adalah
langkah-langkahnya:
-
Acknowledge (akui)
Pikullah tanggung jawab atas tindakan anda dengan cara
mengakuinya.
-
Apologize (meminta maaf)
Nyatakan akibat atau kerusakan yang ditimbulkan
tindakan anda
-
Make it Right (Selesaikan)
Terimalah konsekuensi perilaku tersebut dan tawarkan
untuk menebusnya dengan sebuah solusi.
-
Recommit (berjanji lagi)
Berjanjilah akan melakukan hal yang benar yang dapat
memperbaiki hubungan.
Guru dalam mengaplikasikan sikap diatas memang agak
sulit, perlu penerimaan diri. Terkadang guru masih mempertahankan sikap ego
mereka didepan para siswanya, walaupun terkadang sikap guru tersebut salah dan
berlebihan. Tidak ada ruang dialogis antara guru dan siswa, seolah – olah guru
lah yang paling benar. Sikap guru yang seperti ini terkesan sangat tidak
humanis, implikasi dari sikap guru yang otoriter seperti ini akan berimbas pada
pembentukan kepribadian anak didik. Mereka akan beranggapan bahwa guru adalah
sosok yang sangat menakutkan, guru bukan orang yang tepat untuk berbagi (sharing),
apalagi sebagai teman curhat. Praktik pendidikan seperti ini kurang memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensinya. Sehingga hanya
akan melahirkan generasi yang pintar secara kognitif, tidak cerdas
mengembangkan diri dan kreativitasnya.
b. Penghargaan, penerimaan, kepercayaan
Pembelajar harus diterima sebagai individu yang
berharga, unik, dan dihormati. Perasaan dan pendapatnya harus dihargai. Ia juga
harus diperhatikan. Semuanya ini harus dilakukan tanpa syarat. Kita harus
percaya bahwa setiap orang memiliki kapasitas untuk mengembangkan potensinya
dan menemukan jalan hidupnya.
Rick Smith menyebut hal ini sebagai asumsi positif
terhadap murid. Seorang guru harus berasumsi bahwa muridnya ingin belajar
mengenai hal yang sedang dia ajarkan, walaupun murid tersebut kelihatannya
tidak tertarik. Asumsi positif tersebut akan membantu kita sebagai guru untuk
mempertahankan semangat kita dalam mengajar – karena semangat itulah yang akan
dialirkan kepada murid-murid. Berikut ini tabel yang memberikan contoh
perbedaan asumsi negatif dengan asumsi positif:
Asumsi Negatif
|
Asumsi Positif
|
Mereka
adalah anak nakal.
|
Mereka
belum sepenuhnya mempelajari tingkah laku yang tepat.
|
Mereka
tidak mau belajar.
|
Mereka
ingin tahu apakah suasana kelas akan aman dan terstruktur.
|
Mereka
mencoba menyakiti guru.
|
Mereka
memberikan sinyal kepada guru untuk mengajarkan mereka tingkah laku yang
tepat dengan lebih jelas.
|
Tabel : Perbedaan Asumsi Negatif dengan Asumsi Positif
Dalam pola ini, guru dituntut untuk bisa bersikap
menerima kekurangan dan kelebihannya. Penghargaan dalam hal ini tidak hanya
berupa pemberian materi, hadiah, ataupun bingkisan saja, akan tetapi perhatian
dalam bentuk pujian, bimbingan, dan nasehat juga bisa diberikan oleh guru,
bahkan penghargaan dalam bentuk ini lebih berkesan bagi siswa.
c. Pemahaman dengan empati
Ketika berempati pada seseorang, kita tidak
mengevaluasi atau menganalisis kondisi seseorang dari sudut pandang kita,
melainkan menempatkan diri kita pada kondisi orang tersebut untuk memahami
reaksi dari dalam dirinya, untuk ikut mengalami apa yang dipersepsikan dan
dirasakan.
Milton Mayroff dalam Bolton, (1979)
menggambarkan kedua komponen tersebut secara sebagai berikut:
“…Untuk memerhatikan orang lain, saya harus dapat
memahami dunianya seolah-olah saya berada dalam dirinya. Saya harus dapat
melihatnya, seolah-olah menggunakan matanya, seperti apa dunianya itu untuknya
dan bagaimana ia melihat dirinya sendiri. Tidak hanya melihatnya secara
terpisah dari luar, tetapi seolah-oleh ia sebagai contoh, saya harus dapat
bersamanya di dalam dunianya, ‘pergi’ ke dalam dunianya agar dapat merasakan
dari ‘dalam’ seperti apa dunia ini baginya, apa yang diperjuangkan, dan apa
yang dikehendakinya untuk berkembang.”
Salah satu kunci dari berempati adalah dengan
mendengarkan. Menurut Rick Smith, dengan mendengarkan secara seksama, kita
sebagai guru dapat memahami apa yang menyebabkan munculnya suatu masalah
sehingga kita dapat menemukan solusinya.
Misalnya ketika beberapa anak TK menggumamkan sebuah
lagu berulang kali saat sedang mengerjakan aktifitas di meja, guru dapat menanyakan
kepada anak-anak tersebut apa yang membuatnya menyanyikan lagu itu. Ada
kemungkinan mereka akan menjawab bahwa mereka menyukai lagu itu. Jika aktifitas
yang sedang dilakukan membutuhkan ketenangan dan guru mengharapkan mereka
berhenti menggumamkan lagu tersebut, guru bisa memberhentikan kegiatan sejenak
dan mengajak anak-anak menyanyikan lagu tersebut bersama-sama, karena mungkin
itulah yang mereka butuhkan. Bayangkan jika kita tidak berusaha memahami mereka
dan hanya berkata, “Berhenti bernyanyi!”, mereka mungkin akan berasumsi bahwa
kelas ini tidak menyenangkan karena ‘apapun yang aku suka tidak disukai oleh
guruku’.
Posting Komentar