Selamat Datang di Pechapucha's Note

Blogger templates

PENDIDIKAN INDONESIA DALAM PRESPEKTIF PENDIDIKAN YANG HUMANIS

Sabtu, 05 Januari 20130 komentar


A.    Konsep pendidikan humanis.
Humanism merupakan perkembangan ide-ide progresif, para humanis mengadopsi sebagian besar prinsi-prinsip progresif (child centered, guru non otoratif, siswa aktif dan guru kooperatif dan demokratis), namun progresivisme bukanlah satu-satunya sumber humanism, eksistensialisme juga berperan sebagai stimulus lahirnya pendidikan humanism hal itu terlihat dari prinsip pendidikan humanism yang menekankan pada keunikan masing-masing anak.
Humanism merupakan filsafat hidup yang pada intinya adalah memanusiakan manusia, yaitu yang mempunyai kometment untuk mewujudkan manusia sseutuhnya, meliputi semua aspek perkembangan positif pribadi seperti cinta, kretifitas, makna dan sebagainya. Setiap individu mempunyai kemampuan dan tanggungjawab atas kehidupannya yang mengarah kepada kepentingan kemanusian.
Menurut Antonio. 2003, pendidikan humanistic memiliki nilai yang senada dengan pendidikan demokratis, lebih lanju menurutnya pendidikan yang manusiawi ini perlu dilakukan kepada siswa agar tumbuh sense of moral judgment dan tanggung jawab sosialnya menjadi lebih besar. Menurut Huitt. 2003, pendidikan humanistic menekankan yang utama pada kebutuhan dan minat manusia. Pendidikan humanistic juga menekankan kajian pada manusia scara keseluruhan sebagai individu yang berkembang di sepanjang hidupnya. Dengan kata lain, pendidikan humanistic tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.


B. Prinsip Pendidikan Humanis
Pendidikan humanis menginginkan untuk menciptakan lingkungan pembelajaran dimana anak akan bebas dari peersaingan yang sengit, disiplin yang keras, ketakutan terhadap kegagalan, humanism berusaha menjahui hubungan yang merugikan antara siswa dan guru, dan igin menciptakan hubungan pendidikan yang penuh dengan kepercayaan dan rasa anam. Keyakinan demikian akan membebaskan siswa dari ketakutan yang merusak dan menghabiskan energy, dan mencurahkan perhatiannya pada pertumbuhan individu dan perkembangan kreatifitas.
Singkatnya, pendidikan humanis berusaha bergerak diluar mentalitas penjara disebagian besar seekolah dalam usaha memberikan lingkungan pembelajaran yang akan menghasilkan pertumbuhan individu. Dngan demikian tujuan fundamental pendidikan humanis yaitu berpusat pada aktualisasi diri, bukan pada penguasaan pengetahuan sebagai tujuan. Para pakar pendidikan humanis berpendapat bahwa agar guru dapat dengan mudah mencapai tujuannya dengan cara bekerja sama dengan individu dan kelompok kecil yang berakar pada eksistensialnya. Pendidikan humanis berusaha menghindari kelompok masyarakat modern.



C. Kelebihan dan Kekurang Pendidikan Humanis.



1. Kelebihan pendidikan humanism.
a. Humaanisme memberikan banyak perhatian kepada keunikan siswa.
b. Suasana pembelajaran lebih kooperatif dan demokratis.
c. Berusaha menciptakan hubungan pendidikan antara guru dan siswa dengan kepercayaan, memberikan pertumbuhan individu untuk mengembangkan kreatifitasnya dalam mengaktualisasikan diri, dan menjahui hubungan yang merugikan seperti disiplin yang keras, ketakutan akan kegagalan serta lingkungan yang mengamcam.
2. Kekurangan pendidikan humanism.
a. Humanisme terlalu memfokuskan diri pada siswa sehingga lingkungan social terabaikan.
b. Pendidik sangat pasif sehingga dalam praktek pembelajaran sehingga kreatifitas dan novasi guru mati.
c. Siswa terlalu diberikan kebebasan dalam berkretifitas sehingga akan muncul dalam diri siswa sikap egois dan tidak disiplin.
D. Pendidikan dan Persekolahan
Dalam masyarakat tradisional, pendidikan terjadi dan berjalan secara informal dan tersirat dalam kebiasaan-kebiasaan sehari-hari, pendidikan terjadi bias dilingkungan masyarakat secara umum, lingkungan keluarga maupun komunitas lainnya.
Seiring dengan perkembangan zaman, dari zaman tradisional ke zaman modern, maka pendidikan dalam masyarakat modern telah berdiferensiasi, tugas-tugas masyarakat yang sebelumnya ditata tanpa aturan dan dilaksanakan secara adat, maka dalam masyarakat modern, tugas-tugas masyarakat sudah ditata dengan aturan dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga tertentu. Pendidikan informal secara adat diganti dengan pendidikan formal yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga sekolah formal. Dari sini lahirlah lembaga pendidikan formal dengan sistemnya yang tertentu, yang lebih kita kenal dengan persekolahan.
Pendidikan humanis menitikberatkan tujuan pendidikan pada pengembangan manusia otentik yang memiliki kemampuan untuk menghadapi kerumitan dan masalah hidup modern. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan humanistik harus bersifat manusiawi, dengan memperhatikan aspek kebutuhan dan minat peserta didik. Tema-tema utama pendidikan menurut pandangan humanistik adalah pendidikan yang berpusat pada subjek didik, proses belajar aktif dan mandiri, serta fungsi guru sebagai fasilitator.
Pendidikan humanistik atau pendidikan yang manusiawi memposisikan peserta didik/siswa sebagai manusia, mereka memiliki hak dan kewajiban sebagai manusia, mereka mempunyai hak untuk di hormati dan dihargai. Pendidikan humanis menekankan pada kebutuhan serta minat dari manusia itu sendiri, dengan kata lain pendidikan humanis tidak akan memaksakan kehendak orang lain kepada anak.
Melihat realitas system pendidikan yang terjadi di sekolah-sekolah selama ini, sama sekali tidak memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis-analitis mereka. Peserta didik masih saja menjadi objek. Mereka diposisikan sebagai orang yang tertindas, orang yang tidak tahu apa-apa, orang yang harus dikasihani, oleh karenanya harus dijejali dan disuapi bahkan dilakukan indoktrinasi-indoktrinasi.
Menciptakan konsep pendidikan yang disebut dehumanisasi di negara kita tidaklah mudah membalikkan telapak tangan, karna sistem pendidika kits yang to pernah konsisten dan cenderung berubah ubah.
Uraian ini, menggugah kita semua untuk turut serta ambil bagian mengatasi kondisi krisis sosiologi dunia pendidikan kontemporer. Sebagai praktisi pendidikan di Indonesia, Pendidikan Humanistik (Konsep, Teori dan Aplikasi Praksis dalam Dunia Pendidikan), layak kita jadikan rujukan awal mengatasi problem-problem di atas. Setidaknya teori pendidikan humanisme ini memberikan solusi yang tepat untuk kembali memanusiakan manusia dalam proses pendidikan dan juga berbagai perangkat pendidikan lainnya. Dimana, segala konsep, teori dan aplikasi praksisnya dijelaskan secara sistematis dan komprehensif.
Dengan metode teori humanisme yang diterapkan diharapkan mampu mengantarkan anak didik menjadi sebuah generasi yang dapat diandalkan sekaligus membanggakan. Uraian ini kiranya memberikan angin segar yang patut kita telaah bersama di tengah-tengah sahara pendidikan negeri ini yang gersang dan tandus. 
Perbaikan dan pembenahan pada dunia pendidikan memang adalah suatu hal yang harus terus dan selalu mendesak untuk segera dilakukan. Apalagi mengingat pendidikan adalah sebuah investasi yang sangat penting bagi masa depan bangsa ini. Dimana, anak bangsa nantinya dituntut untuk siap sedia agar dapat meneruskan gerak langkah ke depan. Menjadi sebuah bangsa yang maju dan berpendidikan serta bermoral. Arah pendidikan saat inilah yang harus mampu mencetak manusia-manusia (insan) pendidikan secara manusiawi dan juga berintelektual tinggi. Sebuah mimpi kita sernua tentunya dan tidak sekedar kita jadikan utopia kita belaka.
Oleh sebab itulah, model sistem pendidikan yang dibutuhkan adalah pendidikan yang selalu mengedepankan akan hal-hal yang bernuansa demokratis, partisipatif-dialogis dan humanis. Suasana pembelajaran yang paling menghargai, adanya kebebasan berpendapat, kebebasan mengungkapkan gagasan, adanya keterlibatan peserta didik dalam berbagai aktivitas di sekolah, dan lebih-lebih adalah kemampuan hidup bersama (komunal -bermasyarakat) diantara peserta didik yang tentunya mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Perbaikan dan pembenahan pada dunia pendidikan memang adalah suatu hal yang harus terus dan selalu mendesak untuk segera dilakukan. Apalagi mengingat pendidikan adalah sebuah investasi yang sangat penting bagi masa depan bangsa ini. Dimana, anak bangsa nantinya dituntut untuk siap sedia agar dapat meneruskan gerak langkah ke depan. Menjadi sebuah bangsa yang maju dan berpendidikan serta bermoral. Arah pendidikan saat inilah yang harus mampu mencetak manusia-manusia (insan) pendidikan secara manusiawi dan juga berintelektual tinggi. Sebuah mimpi kita semua tentunya dan tidak sekedar kita jadikan utopia kita belaka.
Menurut Djohar, 2003: 41, bentuk pembelengguan terciptanya pendidikan yang manusiawi diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, ulangan umum bersama menyebabkan orientasi guru mengajar berfokus pada ulanga umum bersama tersebut, guru kehilangan kemandirian dan kretifitasnya, serta kehilangan cara pembelajaran yang ia pandang lebih baik, para guru akan lebih memilih kebersamaan tersebut demi menjaga nama baik, walaupun ia bertindak salah.
Kedua, ujian bersama juga senada dengan ulangan umum bersama, padahal keuntungannya diperoleh oleh mereka yang terlibat dalam penggandaan soal serta mereka yang terlibat dalam penyusunan soal, dengan resiko bilaterjadi kebocoran akan timbul pemborosan besar-besaran, dengan cara ini akan berakibat pada hilangnya makna pembelajaran bagi anak. Saat ini ujian bersama lebih kita kenal dengan sebutan UAN yang baru-baru ini telah selesai kita laksanakan untuk tingkat SLTP/SLTA.
Ketiga, standarisasi yang tanpa batas mengakibatkan kecenderungan terjadinya penipuan dalam pendidikan. Bila ada standarisasi maka pencapaian standard tersebut seharusnya tergantung pada keadaan sekolah atau keadaan daerah. Kemerdekaaan ini sepenuhnya harus diberikan kepada daerah, apabila kita mau konsekuen melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah.
Keempat, rangking kelas memiliki dampak yang negative , karena sekolah akan dijadikan panggung pentas oleh orang tua. Akibatya pendidikan tidak manusiawi. Terjadinya rangking kelas terkait dengan cara penilaian pendidikan kita. Rangking kelas terjadi apabila cara penilaian pendidikannya menggunakan ukuran kuantitatif.
Kelima, kesatuan kurikulum menjadikan guru mengejar target krikulum tersebut, sehingga fleksibelitas pendidikan dikorbankan.
Pancasila sebagai asas Negara bias juga dijadikan asas dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia, pancasila adalah ideology Negara yang humanis tetapi dan sekaligus universal. Dikatakan humanis karena pancasila hanya bias diaplikasikan kepada manusia sedangkan dikatakan universal karena pancasila bias di aplikasikan pada semua manusia tanpa ada perbedaan ras, suku, warna kulit, agama dll. Sehingga akan dihasilkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi, peka terhadap lingkungan sekita. Dengan kata lain akan tercipta manusia Indonesia yang seutuhnya, manusia Indonesia yang memiliki sikap wawasan keimana, dan ahlak tnggi dan mulia, kemerdekaan dan demokrasi, toleransidan menjunjung tinggi HAM, saing pengertian dan berwawasan global.


Implikasi Humanisme Dalam Pendidikan
Dalam konteks pendidikan, pendekatan humanisme dewasa ini semakin banyak digagas oleh beberapa pakar sebagai pendidikan alternatif. Maraknya praktik-praktik dehumanisasi dalam pendidikan menjadikan pendekatan humanisme ini banyak diadopsi kedalam dunia pendidikan, baik secara paradigma maupun aplikasinya. Pendidikan saat ini tidak lagi menganggap peserta didik sebagai objek, akan tetapi sebaliknya. Pelaksanaan pendidikan sudah saatnyalah memfokuskan pada optimalisasi potensi yang dimiliki peserta didik.
Guru dalam konteks pendidikan humanistik diposisikan sebagai fasilitator bagi peserta didiknya. Peran guru dalam proses pembelajaran bukan lagi sebagai orang yang tahu segalanya tanpa melihat keseragaman potensi dan bakat yang sebenarnya dimiliki oleh peserta didik. Inilah yang menjadi ciri dari pendidikan humanistik, memandang manusia dengan positif sebagai satu kesatuan untuh yang punya potensi besar untuk dapat dikembangkan.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakup konsep belajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan oleh Rogers (pakar teori humanistik) yang diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung yaitu empati, penghargaan, dan umpan balik positif. Dalam mengaplikasikan pendekatan pembelajaran yang humanistik, dalam hal ini guru yang berperan sebagai fasilitator mempunyai beberapa ciri-ciri sebagai berikut :
a.      Merespon perasaan siswa
b.      Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
c.      Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
d.      Menghargai siswa
e.      Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
f.        Menyesuaikan isi kerangka berfikir siswa (penjelasan untuk menetapkan kebutuhan segera dari siswa)
g.      Tersenyum pada siswa
Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berfikir lebih tinggi.
Dalam perspektif humanisme, proses pembelajaran bukan pada bagaimana ”mengajarkan”, akan tetapi lebih pada bagaimana ”menciptakan situasi belajar” yang akan membuat peserta didik mengalami pengalaman belajar itu sendiri. Dengan pendekatan seperti ini, akan memungkinkan bagi peserta didik paham akan makna belajar, inilah sesungguhnya hakikat dari pendidikan yang humanis.
Rogers, (1969), salah satu pakar psikologi humanistik mengungkapkan tentang belajar dengan mengetahui terlebih dahulu maka dari belajar itu sendiri, yang dikenal dengan belajar penuh arti yaitu, sikap murni, apa adanya, penghargaan, penerimaan, kepercayaan, dan pemahaman dengan empati.
a. Sikap yang murni apa adanya
Proses belajar penuh arti dapat tercapai jika fasilitator bersikap tulus, jujur, murni, dan bukan hanya bermain peran untuk mengikuti tuntutan dari sistem. Seorang fasilitator boleh merasakan emosi dan boleh mengekspresikannya, tapi bukan menjatuhkan kesalahan pada orang lain. Misalnya, seorang guru yang terganggu dengan anak yang terus menerus mengetukkan kakinya ke lantai. Guru tersebut boleh menyampaikan pada anak, “Saya terganggu dengan bunyi itu…”, tetapi bukan, “Kamu mengganggu saya!” Memang tidak mudah, namun seorang guru dapat memulainya dengan pertama-tama mengenali emosi yang dirasakan dan menerimanya. Kemudian pelan-pelan ia dapat mencoba untuk mengambil sedikit resiko untuk mengekspresikannya dengan tepat.
Seorang pakar manajemen kelas dari Amerika, Rick Smith, menulis dalam bukunya yang berjudul Conscious Classroom Management: Unlocking the Secrets of Great Teaching (2004) beberapa tips dalam mengatasi kemarahan yang muncul dari diri kita sebagai guru/fasilitator. Coba tarik nafas dan hitung sampai 10 sebelum memberikan respon. Selama menghitung kita berasumsi yang terbaik dari murid kita, bahwa dia sebenarnya mau mempelajari tingkah laku yang tepat, hanya saja dia belum sepenuhnya belajar. Setelah itu baru kita merespon dengan nada suara yang tenang. Kita bisa menyatakan apa yang kita rasakan dan membuat mereka mengerti apa yang seharusnya mereka lakukan. Lalu bagaimana jika hitungan 10 saja tidak cukup? Smith menyarankan sebaiknya tetap tutup mulut kita sampai merasa lebih tenang.
Lalu bagaimana kita menyampaikan isi hati kita kepada murid? Dalam bukunya Quantum Teaching, Bobby De Porter,et.al menggunakan istilah Open The Front Door (OTFD) untuk kita sebagai guru mengkomunikasikan isi pikiran kita kepada murid. Berikut adalah tahapannya:
-                    Observation (Nyatakan hasil observasi kita)
Pertama katakan apa yang terjadi dengan cara yang obyektif, teramati, dan lugas, agar kedua pihak memulai pada titik yang sama. Dengan pernyataan fakta, bukan penilaian atau kesimpulan, hanya data.
-                    Thought (Nyatakan pemikiran kita)
Selanjutnya, nyatakan pikiran atau pendapat menggunakan pernyataan ”saya”.
-                    Feeling (Nyatakan perasaan kita)
Ceritakan perasaan kita, juga dalam bentuk ”saya”
-                    Desire(Nyatakan apa yang kita inginkan)
Nyatakan tujuan, atau hasil yang kita inginkan.
Salah satu cara untuk bersikap ‘apa adanya’ adalah dengan mengakui kesalahan yang kita lakukan. Bagaimana pun juga, guru adalah manusia biasa yang tidak luput dari salah. Cara kita mengakui kesalahan bisa menjadi proses pembelajaran tersendiri bagi murid-murid. Berikut adalah langkah-langkahnya:
-                    Acknowledge (akui)
Pikullah tanggung jawab atas tindakan anda dengan cara mengakuinya.
-                    Apologize (meminta maaf)
Nyatakan akibat atau kerusakan yang ditimbulkan tindakan anda
-                    Make it Right (Selesaikan)
Terimalah konsekuensi perilaku tersebut dan tawarkan untuk menebusnya dengan sebuah solusi.
-                    Recommit (berjanji lagi)
Berjanjilah akan melakukan hal yang benar yang dapat memperbaiki hubungan.
Guru dalam mengaplikasikan sikap diatas memang agak sulit, perlu penerimaan diri. Terkadang guru masih mempertahankan sikap ego mereka didepan para siswanya, walaupun terkadang sikap guru tersebut salah dan berlebihan. Tidak ada ruang dialogis antara guru dan siswa, seolah – olah guru lah yang paling benar. Sikap guru yang seperti ini terkesan sangat tidak humanis, implikasi dari sikap guru yang otoriter seperti ini akan berimbas pada pembentukan kepribadian anak didik. Mereka akan beranggapan bahwa guru adalah sosok yang sangat menakutkan, guru bukan orang yang tepat untuk berbagi (sharing), apalagi sebagai teman curhat. Praktik pendidikan seperti ini kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensinya. Sehingga hanya akan melahirkan generasi yang pintar secara kognitif, tidak cerdas mengembangkan diri dan kreativitasnya.
b. Penghargaan, penerimaan, kepercayaan
Pembelajar harus diterima sebagai individu yang berharga, unik, dan dihormati. Perasaan dan pendapatnya harus dihargai. Ia juga harus diperhatikan. Semuanya ini harus dilakukan tanpa syarat. Kita harus percaya bahwa setiap orang memiliki kapasitas untuk mengembangkan potensinya dan menemukan jalan hidupnya.
Rick Smith menyebut hal ini sebagai asumsi positif terhadap murid. Seorang guru harus berasumsi bahwa muridnya ingin belajar mengenai hal yang sedang dia ajarkan, walaupun murid tersebut kelihatannya tidak tertarik. Asumsi positif tersebut akan membantu kita sebagai guru untuk mempertahankan semangat kita dalam mengajar – karena semangat itulah yang akan dialirkan kepada murid-murid. Berikut ini tabel yang memberikan contoh perbedaan asumsi negatif dengan asumsi positif:
Asumsi Negatif
Asumsi Positif
Mereka adalah anak nakal.
Mereka belum sepenuhnya mempelajari tingkah laku yang tepat.
Mereka tidak mau belajar.
Mereka ingin tahu apakah suasana kelas akan aman dan terstruktur.
Mereka mencoba menyakiti guru.
Mereka memberikan sinyal kepada guru untuk mengajarkan mereka tingkah laku yang tepat dengan lebih jelas.
Tabel : Perbedaan Asumsi Negatif dengan Asumsi Positif
Dalam pola ini, guru dituntut untuk bisa bersikap menerima kekurangan dan kelebihannya. Penghargaan dalam hal ini tidak hanya berupa pemberian materi, hadiah, ataupun bingkisan saja, akan tetapi perhatian dalam bentuk pujian, bimbingan, dan nasehat juga bisa diberikan oleh guru, bahkan penghargaan dalam bentuk ini lebih berkesan bagi siswa.
c. Pemahaman dengan empati
Ketika berempati pada seseorang, kita tidak mengevaluasi atau menganalisis kondisi seseorang dari sudut pandang kita, melainkan menempatkan diri kita pada kondisi orang tersebut untuk memahami reaksi dari dalam dirinya, untuk ikut mengalami apa yang dipersepsikan dan dirasakan.
Milton Mayroff  dalam Bolton, (1979) menggambarkan kedua komponen tersebut secara sebagai berikut:
“…Untuk memerhatikan orang lain, saya harus dapat memahami dunianya seolah-olah saya berada dalam dirinya. Saya harus dapat melihatnya, seolah-olah menggunakan matanya, seperti apa dunianya itu untuknya dan bagaimana ia melihat dirinya sendiri. Tidak hanya melihatnya secara terpisah dari luar, tetapi seolah-oleh ia sebagai contoh, saya harus dapat bersamanya di dalam dunianya, ‘pergi’ ke dalam dunianya agar dapat merasakan dari ‘dalam’ seperti apa dunia ini baginya, apa yang diperjuangkan, dan apa yang dikehendakinya untuk berkembang.”
Salah satu kunci dari berempati adalah dengan mendengarkan. Menurut Rick Smith, dengan mendengarkan secara seksama, kita sebagai guru dapat memahami apa yang menyebabkan munculnya suatu masalah sehingga kita dapat menemukan solusinya.
Misalnya ketika beberapa anak TK menggumamkan sebuah lagu berulang kali saat sedang mengerjakan aktifitas di meja, guru dapat menanyakan kepada anak-anak tersebut apa yang membuatnya menyanyikan lagu itu. Ada kemungkinan mereka akan menjawab bahwa mereka menyukai lagu itu. Jika aktifitas yang sedang dilakukan membutuhkan ketenangan dan guru mengharapkan mereka berhenti menggumamkan lagu tersebut, guru bisa memberhentikan kegiatan sejenak dan mengajak anak-anak menyanyikan lagu tersebut bersama-sama, karena mungkin itulah yang mereka butuhkan. Bayangkan jika kita tidak berusaha memahami mereka dan hanya berkata, “Berhenti bernyanyi!”, mereka mungkin akan berasumsi bahwa kelas ini tidak menyenangkan karena ‘apapun yang aku suka tidak disukai oleh guruku’.


Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Arvenz | Tomy Template | Pusat Promosi
Copyright © 2013. pechapucha's notes - All Rights Reserved
Template Modif by Tomy work with Arven
Proudly powered by Blogger